iqra'!! bil BISMILLAH...

Jumat, 24 Agustus 2012

Semua tentang pilihan

Bukankah semua itu sederhana? Bukankah masalah itu amat sederhana? Meski harus membuat hatiku lebur berkeping-keping. Semua tentang pilihan… Awan mendung tenggelamkan mimpi-mimpi Desta. Digelap langit senja yang seolah hendak menghujam hatinya dalam-dalam. Sesal semakin merundung jiwanya yang telah runtuh terluntah. Seisi batinnya kalut dan menghantarnya berada diambang kepunahan. Dia telah kehilangan pelita kecil yang selama ini meneranginya. Pelita yang sudah lama menaungi dinding-dinding nestapanya. Hari ini, pelita itu redup. Cahayanya dipudar tinta hitam kepedihan. Tertiup angin sakal kegetiran. Kering keronta cawannya oleh kemarau kemirisan. Sang pelita itu bernama Moza. Malam tadi, sepatah kata dari Moza merunduk seluruh asanya. Moza menyampaikan pada Desta bahwa esok adalah hari pertunangannya. Harapan Desta tiba-tiba luruh. Hampa seketika dirasakannya, ia terhanyut dalam kalut gelap malam saat itu. Terlebih lagi saat kaki mata desta menangkap sosok asing yang berdiri angkuh tepat di samping Moza. Ia tak hadir sendiri malam itu. Melihat Desta memperhatikannya, Moza berucap kemudian, “ Dia yang akan mendampingiku diacara pertunganku esok. Kuharap kau bias hadir di sana, Desta “. Moza menyunggikan senyum tipis. Ada yang berbeda pada kedalaman matanya yang tak lagi dapat Desta mengerti. Mereka saling berjabak sebelum akhirnya Moza pergi bersama orang asing itu. Desta menggenggam erat tangan kanannya. Ia sadar betul, ia tak lagi bisa menjabaki tangan Moza sesukanya. Moza telah jadi milik orang lain, dan mungkin untuk selamanya. Desta tersedu, genangan air mengaburkan pandangan matanya. Hayalnya lumpuh saat dia baru sadar petang telah lama menelan sunset senja. Ia masih tertunduk letih, seperti ada berton baja yg turut pula dirangkul pundaknya. Masih tak dapat pula ia pahami, mengapa hari ini seolah ia berada diambang kepunahan. Desta merebah diatas kasur. Pandangannya mengangkasa kelangit-langit kamarnya. Sederet wajah memenuhi dinding-dinding putih indigo itu. Ada sederet wajah manis yang tatapan mata dan sunggingan senyumnya begitu hangat. Wajah yang taka asing di huni hayalnya. Akan sampai kapan wajah itu akan terkenang? Desta mengawan, mengangkasa kepenjuru masa di mana ia tengah duduk di sebuah ruangan kelas dengan mengenakan baju putih, celana merah, lengkap dengan dasi unggulan dan rompi tipisnya. Ia masih berumur 8 tahun ketika itu. Wajahnya yang polos, meraut ciut cemberut sebab seoarang gadis asing yang menggandeng dirangkulan seorang guru wanita berjilbab. Fikirannya mulai mengacau, gadiis asing itu nampaknya membawa kabar buruk untuknya. Dia cukup bingung, sehingga untuk bersungging senyumpun ia tak lagi mampu. Sementara di depan sana, gadis mungil berkepang dua mulai bersua menyebut namanya “Nirsany Moza” . Desta mulai mengerling dan bergidik. Murid baru tak pernah sedikitpun membuatnya bersyukur. Dia adalah sang maestro dikelasnya. Kehadiran satu murid lagi sama artinya dengan menambah satu nama pada deretan orang-orang yang menjadi penghalang keberhasilannya menjadi murid nomer satu disetiap akhir ujian semester. Dan gadis itu yang meskipun wajah dan tutur katanya manis, Desta tetap kecut memandanginya. Kehadiran Moza memberi satu warna baru pada kanvas kehidupan Desta. Sebuah warna campuran antara hitam dan putih. Antara cinta dan kebencian. Antara kegelisahan dan kedamaian. Bagi Desta, setiap harinya ia harus berada di sebuah medan pergulatan. Bergulat bersama dua rasa yang berkecamuk dan mengamukkan logikanya. Ia masih terlalu hijau untuk mengerti bahasa hatinya. Terlebih saat dimana ia sesekali melirik senyuman gadis berkepang dua yang pipinya merona merah ketika di banggakan oleh guru yang sedang mengisi jam pelajaran di kelasnya. Sebenarnya hal itu merupakan bagian yang paling tidak di sukainya. Sebab lengsernya ia sebagai maestro kelas merupakan leburnya keangkuhan yang selama ini kokoh bagai kerang. Mandat maestro kelas telah jatuh tempo dan tergantikan oleh gadis kepang dua itu. Desta tumbang di atas meja. Entah karena senyuman gadis itu, atau karena kekelahan mendadaknya. Gadis itu diam-diam menjadi objek inspirasinya. Semakin banyak hal yang membuat Desta takluk, terutama saat sesekali Moza menepi di sudut ruangan dan Desta terlihat tertarik untuk menyapanya. Tapi Desta masih gusar oleh tanda Tanya yang menggandakan fikirannya. Memecah keteguhannya menjadi kepingan molekul tak brarti. Dan sekali lagi, untuk kata hatinya Desta masih terlalu hijau untuk mengerti. Waktu yang beranjak mencipta keakraban diantara mereka. Mereka saling terpaut, mematrikan kebersamaan satu sama lain. Desta telah lupa bagaimana bertatap sinis pada Moza. Kini ia seperti terhanyut dalam lindap pancaran mata gadis itu. Desta yang sesekali kaku, berlagak bagai kawan bepuluh-puluh harimau sangar di sekekelingnya. Moza adalah pemilik jimat mujarab itu. Dan Desta adalah korban yang berhasil di taklukkannya.    Tahun-tahun berlalu. Desta mulai paham akan segala kegamangan yang kerap kali di rasakannya. Sejak ketika pertama kali melihat Moza kecil berkepang dua. Saat ia mulai mengasing dan menaggapi Moza layaknya lawan. Dari hari kehari, dari lirik melirik. Hingga mereka mulai mencipta keakraban di atas sebuah rasa. Kini, Moza manis berkepang dua bukan lagi gadis mungil yang lugu akan hidup. Ia sudah lihai memilih, menuntut, dan mengandai. Namun masih juga Desta berada disana. Memperteguh kesetiaannya yang entah untuk apa. Desta bukan lagi seorang Desta yang dungu dan lugu. Tidak lagi gelagapan tentang defenisi kalimah perkata. Tapi tetap saja, mereka masih terlalu awam untuk mengerti tentang apa itu cinta.    3 tahun yang lalu… Kerap kali, kenyataan yang menggugat kita untuk mengurung sebuah janji. Sebuah janji yang dulunya mengangkat kesan magis. Sekarang tak punya arti apapun dan menuntut subjeknya merasa apatis satu sama lain. Awalnya, mereka kira segala sakral yang membentuk ubin demi ubin masa depan mereka sudah tak mampu lagi di tawar siapa pun. Ternyata salah, niat mereka untuk merealisasikan mimpi mereka dalam satu lembaga sekolah menengah kejuruan hanya meluangkan celah untuk mengingkari janji. Desta tak pernah ingin sesuatu pun melumpuhkan harapannya. Tapi tidak untuk sekarang ini, ia harus memutuskan pilihannya. Berpisah di persimpangan jalan dan mengambil jalur berbeda. Desta tahu hal itu akan menggandakan artikulatif kemarahan Moza. Tapi Desta tak muluk mendapatkan pilihan lain untuk menepati janji. Satu-satunya pilihan untuknya adalah mondok di pesantren. Hari itu, Moza bergegas sejak pagi masih menampakkan mentarinya dengan malu-malu. Moza menggenggam satu formulir yang sudah di titahnya dengan selengkap-lengkapnya. Ia berdiri di persimpangan jalan, menunggu hadirnya sesosok pria berkacamata disana. Moza mengamati setiap deret tulisan diatas sketsa formulir yang digenggamnya. Matanya sedikit rabun terkena paparan sinar matahari yang tanpa canggung lagi mengintainya. Kemudian menit bertumpuk menjadi jam, dalam kurung waktu satu seperempat jam sudah sangat cukup untuk menitikkan keringatnya disana. Samar-samar dalam lensanya. Sesosok yang dikenalinya berjalan gontai dengan membawa sekoper barang yang mengintai dipunggung kakinya. Moza menautkan alis, pria berkacamata itu tampak bimbang. “Maaf. Udah lama nungggunya?” ujar pria itu setibanya. Keringat yang meleburkan dirinya satu persatu menghujani tubuhnya. “Dari mana saja?” Moza berucap sinis. Desta hanya mengangkat kedua bahunya dan menyimpan kopernya ketepian. “Moza…”Desta tertahan . Ia betul-betul belum sanggup mengatakan hal itu pada Moza. Tetapi di depan sana, Moza tak ubahnya seperti kucing yang menunggu tuannya memberi makanan. “ Maafkan aku… Moza. Kali ini saja aku meminta restumu” . Desta menghela nafas dan kembali berujar. “Aku harus berangkat sekarang. Aku akan bersekolah di pesantren.”Desta tertunduk. Kali ini rasa bersalah menguasai seluruh batinnya. Hening. Hanya hembusan angin yang membawa secarik kertas menari bebas. Berlari liar meninggalkan dua pasang mata yang terhanyut dalam lindap air mata. Moza bungkam dengan dekapan pilu. Mulutnya keluh, tapi masih dapat tersenyum. “Bergegaslah Desta. Kau tak ingin membuang waktumu disini kan ?”. Moza berujar dalam sungkan. Desta yang masih fakum mencoba mengiyakan. Ban koper berdecit di atas aspal. Sinar orange pagi itu menghiasi wajah buram Moza. Ia masih tertunduk ketika Desta pergi. Hingga yang dapat di lihatnya hanya koper yang bertahap meroda menjauhinya. Tapak-tapak yang dilalui Desta terus saja menghantarnya melangkah dan terseret jauh dari tempat pijak Moza . seluruh diam menjelma dalam dalam bisu yang terbias waktu. Hanya rasa bersalah yang menemani kepergiannya. Rasa bersalah yang di pikulnya mulai hari ini. Desta membiarkan semua berjalan tanpa rekayasa. Lebih baik menyakiti sekarang ketimbang membiarkan semua hal berlarut tak menentu. Ia sangat paham bahwa Moza tengah kecewa. Tapi ia akan merasa lebih bersalah lagi jika ia tetap diam tanpa mengatakan sepatah dua kata sebelum pergi. Baginya, seperti sejak pertama rasa itu diam membisu. Lalu perlahan mengetuk pintu hatinya dalam damba tak bersyarat dibalik indah wajah Moza yang mengemuka. Kini yang dibawanya pergi, sekali lagi hanya intaian bayang rasa bersalah.    Untuk sejenak dalam doa yang ditasbihkan. Desta merebah dibalik lantunan syahdu bait-bait suci. Mengiba pada seorang yang entah sudah berapa lama tak ditemuinya. Ia masih ingat saat terakhir bertatap wajah dengan gadis itu. Tak sebaik yang diinginkannya. Ia termangu diam. Merengkuh jelaga sepasang mata dari batas rindu yang tergopoh berlari. Selalu saja tak semampai, untuk mengusung rindu yang rasanya tak berujung. Didekapnya sebuah mushaf. Gelimang rasa terus saja memuncak. Menyusung partikel-pertikel maha tingggi. Semenjak berada di pondok. Belum berapa lama ia sangat ingin pulang ke kampung halamannya. Menunaikan rasa bersalahnya pada Moza. Padanya yang kecewa. Sejauh ini, Desta telah menimbang-nimbang perkara perihal itu. Tapi tak satupun tanda yang dijelmakan Moza diambang perpisahan. Tak ada sinyal yang terngaungkan. Moza hanya berujar sepatah kata agar Desta bergegas pergi. Hanya sebaris kata, tapi sangat cukup untuk menyisakan sejuta luka untuknya. Dibatas gundah yang menggugah gelisah. Memamah resah yang berujung pada Tanya yang menunda kebahagiaan mereka. Keinginan Desta hanya satu, melihat Moza dapat tersenyum dengan indah. Senyuman lepas dari bibirnya yang merekah, terlepas dari beban apapun yang merajamnya. Saat tak terperih.    Kini, tak terhitung waktu yang dihabiskan Desta dalam dimensi baru pada kehidupannya dipesantren. Dengan segala kebiasaan barunya, ia mampu mengganti sel-sel ingatan yang usang dengan pengalaman-pengalaman baru. Seperti hard disk lama yang terganti dengan hard disk kosong yang ingin diisi lagi. Setiap harinya, ia bergelut bersama bait demi bait kitab suci yang harus fashih dihafalkannya. Perhatiannya terpusat pada satu tujuan, menyelesaikan studinya di pesantren dan meraih tiket masa depan cemerlang. Lalu, kendatipun demikian. Seberapapun lamanya Desta memusatkan waktu dan perhatiannya hanya untuk belajar. Tapi secercah ingatannya bercabang pada seorang yang memijaki kota yang jauh darinya. Entah atas alasan apa, bayangan masa lalu itu terus saja mengintainya. Berulang kali Desta pulang kerumahnya. Berulang kali pula kabar angin tentang Moza menyapa peraduannya. Hatinya semakin ngilu. Ia berharap andai saja dapat bertemu. Meskipun pada waktu yang tidak direncanakan. Pada kedalaman hatinya. Ada beribu kata yang sangat ingin dikatakan olehnya, namun terjanggal pada titik hampa dibenaknya. Semakin lama Desta tak menemui Moza. Semakin tergandakan kalimah perkata itu. Menjadi sekumpulan bait yang sulit diparafrasekan namun semakin menggudang. Tapi hanya ada alasan atas itu. Cinta.    Setahun berikutnya setelah Desta berada dipondok. Sejumlah resolusi mengubah sebuah tekad dalam metamorfosis frekuensi hatinya. Tak mungkin Desta dapat fakum dalam semaput rindu yang tak terbalaskan. Kehilangan satu cinta, maka satu-satunya cara mengobatinya adalah mencari cinta yang baru. Hingga suatu ketika Desta mengenal seorang gadis yang menarik perhatiannya. Meski tak serupa dan tak sama bila dibanding dengan Moza. Entah untuk keberapa kalinya rasa itu hadir ke permukaan. Segala ruang yang mencakupnya dengan gadis itu malah memicu efek negative diantara mereka. Memasuki minggu pertama Desta dan gadis Maros yang bernama Lena, Desta masih belum dapat melupakan Moza. Desta baru sadar setelah hubungannya bersama Lena terpaut lebih dari dua minggu, segala hal yang dijalaninya tak pernah terlepas dari intaian bayangan Moza. Bagi Desta, rasa yang terpaut itu bukan hal yang serius. Cintanya pada Lena adalah cinta yang serupa dengan Channel TV. Tak suka acaranya, raih remote-mu, dan ganti salurannya. Sedang pada Moza, terkunci dan lekat dalam dinding-dinding hati yang sempit. Cintanya yang seolah mengajak Desta menulis puisi, cintanya adalah sastra yang membangun gemelantik dari sudut-sudut gelap otak. Dari kedua gadis itu, Desta menemukan paradoks pertamanya. Kemudian Desta mengakhiri romansanya dengan Lena. Dengan satu alasan, cinta tak dapat dijalani jika jarak yang memisahkannya terlampau jauh. Hanya butuh waktu 2 minggu cinta itu bertahan hingga akhirnya khatam. Cukup dalam kurung waktu 2 minggu untuk Lena. Dan cukup dalam 2 minggu pula usaha Desta melupakan Moza berjalan sia-sia.    Dan ternyata jejak awal yang dimulai dan telah melewati gulungan hari, tetap saja kembali pada jalur semula. Seribu jejak tetap bermakna satu jejak. Setelah Desta menyelesaikan studinya di pesantren. Desta mendengar kabar tentang Moza, ia cukup senang meski membuatnya sangat kecewa. Semua berputar bak siklus rasa ditengah labirin tanpa tepi. Mengintainya dan meninggalkan siluet memori. Telah banyak tanya tak terjawabkan. Telah banyak sapa yang tak terbalaskan. Telah banyak hari yang sia-sia berlalu. Dan hari ini perasaan yang telah lama disetiakannya. Menyayat hatinya sendiri. Ponsel Desta berdering. Sederet nomor tak beralamat terlihat dilayarnya. Desta sesegera mungkin menerimanya. Setelah berbincang tak seberapa lama. Desta mengenal pemilik suara itu adalah Moza. Ia berucap syukur sebab kekecewaan Moza hari itu telah diabaikannya. “Desta, ada sesuatu hal yang sebenarnya merupakan inti dari maksudku menghubungimu”. Moza membuka garis keseriusan perbincangan mereka. Sedang Desta lagi-lagi hanya diam. “Tolong jujur Desta. Apa kamu mencintaiku?” sambung Moza. Desta jadi serba salah. Bibirnya keluh. “Aku tahu semuanya Desta. Tak perlu menyembunyikannya lagi” Ujar Moza. Desta mengepal tangannya. Sebatas trik untuk meyakinkan hatinya bahwa ia cukup tangguh. “Moza. Semua yang kau katakan itu benar. Semua hal menyangkut kau dan aku bukanlah dusta. Tapi selama ini aku hanya dapat diam. Karena aku menyalahkan perasaanku sendiri untuk orang yang menyalahkanku”. Lugas Desta. “Mengapa kau harus menunggu terlalu lama untuk menyatakan ini?” Moza menyeka dalam ragunya. “Karena aku tak pernah yakin akan mendapatkan balasan darimu.” ucap Desta. “Desta. Seminggu lagi aku akan dilamar oleh seseorang yang menjadi pilihan orang tuaku. Jika benar kamu mencintaiku. Datang kerumahku dan lepaskan aku dari rajam pria itu.” “T….ta….p….i..Moza” Desta mulai gelagapan. Ia tak pernah mengira sebelumnya bahwa Moza akan membahas hal seserius ini. Hubungan interlokal Moza terputus. Namun dialognya tadi bersama m masih terus saja terngiang dalam benaknya. Moza menanti keseriusan Desta. Moza menangih tanggung jawab Desta sebagai orang yang mengaku mencintainya.    Kepada hatimu yang bukan untukku: Nirsany Moza Aku tulis catatan ini ketika aku terombang-ambing ditelan kesepian dan ragu yang deras mengimpit. Dini hari menjelang pagi datang, ditengarai sepi dan luka yang menghujam tajam untuk kesekian kalinya aku mencoba menyapa cintamu. Tapi tak ada jawab. Yang kutemui hanya lembab udara yang berembus panas. Menyatu bersama degub jantungku yang mulai kehilangan jejakmu. Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek buat orang sepertiku. Yang selama ini selalu mencoba setia menjaga segala rindu dan cinta untukmu. Mungkin terdengar klise atau malah bodoh. Tapi setidaknya itu yang kurasakan detik ini. Gelisah dan pencarianku menyatu bersama rindu yang menumpuk dan mengecup penantian yang tak kunjung berakhir. Dalam secarik kertas yang kutitah ini. Kuharap tak ada bedanya antara hujan dan teduh. Antara gelap dan terang. Antara janji dan pengingkaran. Maafkan aku Moza, aku bukan orang yang kau harapkan. Aku tidak pantas menjadi orang yang memasangkan cincin dijari manismu. Mungkin ini sudah saatnya aku harus mulai belajar melupakanmu. Meski kenangan tentangmu tak akan mudah kuhapuskan. Setidaknya aku berzikir lemah untuk pilihanmu. Aku akan coba untuk rela, merelakan hatimu untuk orang lain. Bukan untukku.
Desta menutup segala gamang itu dengan dekapan penanya. Entah.. desta sendiri tidak mengerti dengan kesakitan-kesakitannya. Mungkin ada benarnya, pria sepertinya tidak akan pernah seserius itu. “Maafkan aku Moza. Aku pergi sebagai seorang pengecut”, penyesalan-penyesalan itu menapiknya berkali-kali. Moza memutuskan untuk menikahi pria itu, pada akhirnya. Kesedihan yang sambil lalu menukingnya, menuntutnya untuk memilih pria itu. Lebih tepatnya, karena Desta sama sekali tidak berwajib datang menghadiri pestanya. Mungkin ada benarnya, Desta masih terlalu sakit untuk menerima kenyataan. Moza bukan wanita yang akan menjadi pengantin perempuannya. END..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar