iqra'!! bil BISMILLAH...

Sabtu, 20 April 2013

Sabtu, 29 September 2012

Mulailah Berlogika!!

Sangat banyak yang mulai tidak waras belakangan ini.
Dan yang membuatnya tidak waras adalah perasaan itu sendiri.
Kemungkinan, asumsi, hipotesis, bahkan rumor. kerap kali membuat kita tercengang dan gelisah tanpa sebab. coba fikirkan apa sebab utama nya!?
"Karena kita terlalu diperbudak oleh perasaan, dan mengabaikan logika"
Ironisnya lagi, orang-orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh dirinya sendiri. sibuk merangkai semua kejadian disekitarnya unuk membenarkan harapan hatinya.
sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang.
karena kita selalu bergantung pada "PERASAAN".
Tidak bisakan kita sedikit berfikir secara logik? Tentu saja bisa, hanya saja kita terlalu terikat dengan hati, persaan, jiwa, insting, perkiraan, tetbakan, ramalan. Hingga kita melupakan integritas sebenarnya, bahwa realita itu sangat perlu pemikiran yang rasional!
Come on.. Kenapa malah ingin disandra dengan perasaan?
Kita malah tidak akan pernah tahu lagi, mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.
Jika kalian sudah terlanjur terhipnotis dengan perasaan, apalah yang layak dilakukan?
mudah saja.. Belajarlah dari kebijaksanaan berak (saya fikir semua orang juga tahu apa arti harfiah dari berak tanpa harus membuka kamus ilmiah).
Jika kalian sedang sedih, tersakiti, terzalimi, ingin move on.
melupakan semua kenangan menyakitkan, maka lupakanlah seperti berak.
Pernahkah kalian bertanya kemana berak itu pergi? Sedetikpun tidak. bahkan kalian baru berfikir setelah membaca tulisan ini.
Pernahkah kalian merasa sedih dengan perginya berak itu? Bukankah dia sendirian dilorong-lorong pipa, lantas masuk ke septic tank.
Pernahkah kalian merasa kehilangan atas hal itu? Pasti tidak pernah!
Maka sekarang anggap saja dia berak. Anggap persaan itu tidak penting, sama tidak pentingnya dengan perasaan kehilangan atas lenyapnya berak.
Bye///Gak penting dipikirin lagi!

Sabtu, 25 Agustus 2012


Ceritakan padaku, siapa aku ini dihatimu. Apakah aku hadir untuk cintamu dengan ketulusan hati atau sekadar mengumbar kata-kata basi? Biarkan keluguan rasamu yang menjawabnya

Ekstrim => NEGATIF

Dalam diri kita masing-masing ada kebaikan dan keburukan. Kita punya ciri khas yang positif dan ciri khas yang menghasilkan tanggapan negatif dari orang lain. Cukup sering ciri khas yang sama bisa merupakan plus minus, menurut tingkatannya, dan banyak positif kalau dibawa sampai keujung yang ekstrim menjadi negatif.
Kemampuan besar orang Sanguinis adalah berbicara, tapi kalau dibawa sampai kettitik yang ekstrim ia bisa saja terus-menerus berbicara, memonopoli, menyela, dan menyimpang terlalu jauh dari kebenaran.
Pemikiran analitis yang mendalam dari orang Melankolis merupakan ciri khas yang jenius, banyak dihormati oleh mereka yang pikirannya dangkal, walaupun demikian kalau dibawa sampai ketitik ekstrim, dia jadi menyebabkan kesombongan, dan menekan perasaan orang lain. Bakat orang seperti ini sangat diperlukan dalam kepemimpinan, tetapi kalo dibawa sampai ketitik yang paling ekstrim, seorang Melankolis jadi sok berkuasa, mendominasi, dan manipulatif.

Baiknya, setelah mengenal segala aspek ini. kita dapat mengenali titik ekstrim itu, agar sedikit baiknya tidak merugikan diri kita sendiri terhadap "cacat" yang terkadang tidak disadari. Marilah kita masing-masing mempelajari diri sendiri secara realistis dan menemukan cacat kita sebelum terlambat.


Orang yang tidak mau dididik menjadi miskin dan hina; orang yang mengindahkan nasihat akan dihormati

Mari kita tinjau EMOSI kita

Sekarang ini saya yakin anda sudah memahami orang Sanguinis populer yang meluap-luap dan periang sementara orang Melankolis yang sempurna mendalam dan analitis.
Kedua watak ini berlawanan dalam hal reaksi. Keduanya emosional dan terpengaruh keadaan. Sanguinis hidup dengan perasaan dan kehidupannya merupakan rangkaian garis naik turun yang cepat.
Sanguinis khasnya mungkin mengalami enam krisis emosional yang saling tak menentu dalam waktu yang hampir bersamaan. semua itu hebat dan bahkan -Mengerikan- .
Suatu ketika seorang Remaja Sanguinis mendapatkan kepercayaan untuk mengetuai sebuah tim pramuka. Setelah mengetahui tugasnya yang kedengaran sangat- penting- itu, ia menghampiri teman-temannya lalu tersenyum dengan sangat antusiasnya lalu berkata "Aku jadi ketua tim pramuka! kau dengar itu.. " dan berjungkat-jungkit demi menarik perhatian yang lain, lalu temannya membalas perkataan itu "Celaka.. kau hampir tidak tahu bahwa tugas terburuk dalam pramuka adalah ketua tim? apa bagusnya menjadi ketua tim dalam misi memunguti 1000 sampah kota!". "Memunguti sampah kota!!!!" remaja Sanguinis tadi kaget bukan kepalang demi mendengar kata itu, seketika ia sadar lupa menanyakan tugas -jabatan terhebatnya-. Dia berjalan seanjang koridor sekolah, berputar haluan sepanjang satu meter, bolak-balik, menggaruk kepala, tertunduk, dan... tiba-tiba langsung tersenyum, "Bukankah hal itu kedengarannya sangat hebat?!".

Dapatkah anda merasa akibat emosional dari kehidupan seperti ini terhadap seorang Sanguinis? kalau anda harus membuat grafik emosi seorang Sanguinis, maka garis yang terbentuk akan naik..turun, naik turun,

*Melankolis
Apa yang tidak disadari oleh orang Melankolis adalah bahwa mereka juga emosional. Kecuali tingkat tinggi, mereka memiliki grafik lebih tinggi, tingkat rendah mereka lebih rendah. dan seluruh polanya diperpanjang.
Suatu ketika, seorang remaja Melankolis chatting bersama pacarnya. Dia meminta agar pacarnya membuka akun blog nya dan menggantikan beberapa gadget yang salah. pacarnya meng-iyakan untuk membantu, tapi tanggapan itu dibalasnya biasa-biasa saja dengan jawaban "bisa", empat kata yang membuat remaja Melankolis yang Analitis merasa tidak diperdulikan. -Ketahuilah, seorang Melankolis, selalu ingin menjadi yang berarti, dan diperlakukan seolah-olah dia benar-benar berarti-". Remaja Melankolis tadi merasa tidak perlu lagi membalas obrolan itu, sesuatu membuatnya tidak berselera. lalu pacarnya mengirim satu pesan lagi "Maaf saya lupa password yang pernah kamu kasih". Remaja Melankolis itu tidak lantas memberikannya password saat itu juga. Ia merasa lebih baik jika tidak meminta bantuan dari "orang yang tidak memperdulikan" setiap inci dari apa yang telah diberikannya, meskipun itu password sekalipun. Ia merasa sangat kesal, dan meninggalkan obrolan dengan pacarnya tanpa mengatakan apapun.
2 hari terakhir remaja melankolis mencoba merancang gadgetnya sendiri tanpa sepengetahuan pacarnya. Setelah hari ketiga sang pacar mulai tertekan karena merasa ada yang salah dengan remaja melankolis itu. Sang pacar menanyakan "apa ada yang tidak beres?" Remaja melankolis tidak menjawab apapun, dan permainan diteruskan.
Setelah mendapatkan pernyataan selama seminggu kebungkaman, sang pacar mengirimkan E-mail kepada remaja Melankolis itu " Kau tidak membalas pesanku hanya hampir seminggu hanya karena aku lupa password blog-mu?". Remaja Melankolis makin kesal dan tertekan. Ia bingung mengapa pacarnya sangat Emosional. Diperlukan waktu ber minggu-minggu baginya untuk menyempurnakan gadget blog-nya, dan barulah gejolak hatinya mereda sampai ke titik nol lagi.
Apakah anda melihat polanya? Pasangan ini sama Emosionalnya, mereka keduanya terpengaruh oleh keadaan. Orang Sanguinis punya suasana hati yang naik turun dalam semenit, orang Melankolis naik turun dalam waktu sehari-dua hari bahkan sampai seminggu.

Kenali siapa Anda "Now"

Time out! (untuk beberapa menit renungan)
Tahukah anda bagaimana karakter anda sebenarnya?.
Tahukah anda titik letak frekuensi jangkauan yang anda coba lakukan?
Kenali diri anda

*Sanguinis : spontan, lincah, dan periang. Kepribadian yang menarik, suka bicara, menghidupkan pesta, rasa humor yang hebat, secara fisik memukau pendengar, emosional dan demonstratif, periang dan penuh semangat, lugu dan polos, kekanak-kanakan, mudah berubah-ubah.
*Melankolis : Mendalam dan penuh pikiran, Analitis, Serius dan tekun, Cenderung jenius, Berbakat dan Kreatif, Filosofis dan puitis, Menghargai keindahan, Perasa terhadap orang lain, Suka berkorban, Penuh kesadaran, Idealis.
*Koleris : Berbakat pemimpin, Dinamis dan aktif, sangat memerlukan perubahan, merasa harus memperbaiki kesalahan, berkemauan kuat dan tegas, tidak emosional dalam bertindak, tidak mudah patah semangat, bebas dan mandiri, bisa menjadi apa saja. *Pleghmatis : Kepribadian rendah hati, mudah bergaul dan santai, Diam, tenang, mampu apapun, sabar, baik keseimbangan emosionalnya, hidup konsisten, tenang tapi cerdas, simpatik dan baik hati, menyembunyikan emosi, bahagia menerima kehidupan, realistis, serbaguna.
Anda dapat menilai diri anda sendiri melalui sederet karakter person diatas. Banyak hal yang sebenarnya sangat sering terjadi dalam diri anda, namun hanya sambil lalu terjadi tanpa memetik sebuah alasan mengapa hal itu terjadi dan harus terjadi. Setelah kita tahu siapa diri kita dan mengapa kita bertindak dengan cara seperti yang kita lakukan, kita bisa mulai memahami jiwa kita, meningkatkan kepribadian kita, dan belajar menyesuaikan diri dengan orang lain

Jumat, 24 Agustus 2012

Masih ingatkah ketika harus kuhabiskan berpuluh malam untuk menghibur sepimu Memberimu keyakinan tentang keberadaanku meski kau belum bisa utuh menerima kehadiranku kembali Setelah perjalanan panjangku mengobrak-abrik luka di semenanjung hatimu Tetap saja sama..kau adalah titik zenit cintaku.

Maryamah Karpov "Special Edition"

Bahagia menyelimuti kalbunya sejak dini hari itu. Sejak dini hari ketika dia menemukan kembali kuku-kuku cantik jari-jemari itu. “Yang paling bahagia dari yang terbahagia tentu saja aku.” Namun sungguh tak dinyana, semua berakhir begitu saja. “Di tengah hamparan ilalang, A Ling berdiri sendirian menungguku. Kami hanya diam, tapi A Ling tahu apa yang telah terjadi. Ia terpaku lalu luruh. Ia bersimpuh dan memeluk lututnya, Matanya semerah saga. Ia sesenggukan sambil meremas ilalang tajam. Seakan tak ia rasakan darah mengucur di telapaknya. Ia menarik putus kalungnya, menggulung lengan bajunya, dan memperlihatkan rajah kupu-kupu hitam di bawah sinar bulan.” Semua asa yang telah hadir sejak A Ling berkata pada Ikal, “Curi aku dari pamanku” minggu siang itu, hancur begitu saja. Aku telah katakan tadi, aku tak ingin semuanya berakhir begitu saja. Dan Ikal tak menepati janji. Dia biarkan perlahan awan kelabu di langit turun menjadi titik gerimis. Aku tak tahu, padang sabana di belahan dunia yang mana lagi yang akan ditempuhnya, atau lanun di samudera yang mana lagi yang akan ditaklukkannya untuk merengkuh A Ling. Agar dapat memakai kata Hirata di belakang namanya, ya A Ling Hirata. Atau agar ia dapat melihat A Ling untuk kali terakhir sebelum tidur dan kali pertama ketika bangun.

Semua tentang pilihan

Bukankah semua itu sederhana? Bukankah masalah itu amat sederhana? Meski harus membuat hatiku lebur berkeping-keping. Semua tentang pilihan… Awan mendung tenggelamkan mimpi-mimpi Desta. Digelap langit senja yang seolah hendak menghujam hatinya dalam-dalam. Sesal semakin merundung jiwanya yang telah runtuh terluntah. Seisi batinnya kalut dan menghantarnya berada diambang kepunahan. Dia telah kehilangan pelita kecil yang selama ini meneranginya. Pelita yang sudah lama menaungi dinding-dinding nestapanya. Hari ini, pelita itu redup. Cahayanya dipudar tinta hitam kepedihan. Tertiup angin sakal kegetiran. Kering keronta cawannya oleh kemarau kemirisan. Sang pelita itu bernama Moza. Malam tadi, sepatah kata dari Moza merunduk seluruh asanya. Moza menyampaikan pada Desta bahwa esok adalah hari pertunangannya. Harapan Desta tiba-tiba luruh. Hampa seketika dirasakannya, ia terhanyut dalam kalut gelap malam saat itu. Terlebih lagi saat kaki mata desta menangkap sosok asing yang berdiri angkuh tepat di samping Moza. Ia tak hadir sendiri malam itu. Melihat Desta memperhatikannya, Moza berucap kemudian, “ Dia yang akan mendampingiku diacara pertunganku esok. Kuharap kau bias hadir di sana, Desta “. Moza menyunggikan senyum tipis. Ada yang berbeda pada kedalaman matanya yang tak lagi dapat Desta mengerti. Mereka saling berjabak sebelum akhirnya Moza pergi bersama orang asing itu. Desta menggenggam erat tangan kanannya. Ia sadar betul, ia tak lagi bisa menjabaki tangan Moza sesukanya. Moza telah jadi milik orang lain, dan mungkin untuk selamanya. Desta tersedu, genangan air mengaburkan pandangan matanya. Hayalnya lumpuh saat dia baru sadar petang telah lama menelan sunset senja. Ia masih tertunduk letih, seperti ada berton baja yg turut pula dirangkul pundaknya. Masih tak dapat pula ia pahami, mengapa hari ini seolah ia berada diambang kepunahan. Desta merebah diatas kasur. Pandangannya mengangkasa kelangit-langit kamarnya. Sederet wajah memenuhi dinding-dinding putih indigo itu. Ada sederet wajah manis yang tatapan mata dan sunggingan senyumnya begitu hangat. Wajah yang taka asing di huni hayalnya. Akan sampai kapan wajah itu akan terkenang? Desta mengawan, mengangkasa kepenjuru masa di mana ia tengah duduk di sebuah ruangan kelas dengan mengenakan baju putih, celana merah, lengkap dengan dasi unggulan dan rompi tipisnya. Ia masih berumur 8 tahun ketika itu. Wajahnya yang polos, meraut ciut cemberut sebab seoarang gadis asing yang menggandeng dirangkulan seorang guru wanita berjilbab. Fikirannya mulai mengacau, gadiis asing itu nampaknya membawa kabar buruk untuknya. Dia cukup bingung, sehingga untuk bersungging senyumpun ia tak lagi mampu. Sementara di depan sana, gadis mungil berkepang dua mulai bersua menyebut namanya “Nirsany Moza” . Desta mulai mengerling dan bergidik. Murid baru tak pernah sedikitpun membuatnya bersyukur. Dia adalah sang maestro dikelasnya. Kehadiran satu murid lagi sama artinya dengan menambah satu nama pada deretan orang-orang yang menjadi penghalang keberhasilannya menjadi murid nomer satu disetiap akhir ujian semester. Dan gadis itu yang meskipun wajah dan tutur katanya manis, Desta tetap kecut memandanginya. Kehadiran Moza memberi satu warna baru pada kanvas kehidupan Desta. Sebuah warna campuran antara hitam dan putih. Antara cinta dan kebencian. Antara kegelisahan dan kedamaian. Bagi Desta, setiap harinya ia harus berada di sebuah medan pergulatan. Bergulat bersama dua rasa yang berkecamuk dan mengamukkan logikanya. Ia masih terlalu hijau untuk mengerti bahasa hatinya. Terlebih saat dimana ia sesekali melirik senyuman gadis berkepang dua yang pipinya merona merah ketika di banggakan oleh guru yang sedang mengisi jam pelajaran di kelasnya. Sebenarnya hal itu merupakan bagian yang paling tidak di sukainya. Sebab lengsernya ia sebagai maestro kelas merupakan leburnya keangkuhan yang selama ini kokoh bagai kerang. Mandat maestro kelas telah jatuh tempo dan tergantikan oleh gadis kepang dua itu. Desta tumbang di atas meja. Entah karena senyuman gadis itu, atau karena kekelahan mendadaknya. Gadis itu diam-diam menjadi objek inspirasinya. Semakin banyak hal yang membuat Desta takluk, terutama saat sesekali Moza menepi di sudut ruangan dan Desta terlihat tertarik untuk menyapanya. Tapi Desta masih gusar oleh tanda Tanya yang menggandakan fikirannya. Memecah keteguhannya menjadi kepingan molekul tak brarti. Dan sekali lagi, untuk kata hatinya Desta masih terlalu hijau untuk mengerti. Waktu yang beranjak mencipta keakraban diantara mereka. Mereka saling terpaut, mematrikan kebersamaan satu sama lain. Desta telah lupa bagaimana bertatap sinis pada Moza. Kini ia seperti terhanyut dalam lindap pancaran mata gadis itu. Desta yang sesekali kaku, berlagak bagai kawan bepuluh-puluh harimau sangar di sekekelingnya. Moza adalah pemilik jimat mujarab itu. Dan Desta adalah korban yang berhasil di taklukkannya.    Tahun-tahun berlalu. Desta mulai paham akan segala kegamangan yang kerap kali di rasakannya. Sejak ketika pertama kali melihat Moza kecil berkepang dua. Saat ia mulai mengasing dan menaggapi Moza layaknya lawan. Dari hari kehari, dari lirik melirik. Hingga mereka mulai mencipta keakraban di atas sebuah rasa. Kini, Moza manis berkepang dua bukan lagi gadis mungil yang lugu akan hidup. Ia sudah lihai memilih, menuntut, dan mengandai. Namun masih juga Desta berada disana. Memperteguh kesetiaannya yang entah untuk apa. Desta bukan lagi seorang Desta yang dungu dan lugu. Tidak lagi gelagapan tentang defenisi kalimah perkata. Tapi tetap saja, mereka masih terlalu awam untuk mengerti tentang apa itu cinta.    3 tahun yang lalu… Kerap kali, kenyataan yang menggugat kita untuk mengurung sebuah janji. Sebuah janji yang dulunya mengangkat kesan magis. Sekarang tak punya arti apapun dan menuntut subjeknya merasa apatis satu sama lain. Awalnya, mereka kira segala sakral yang membentuk ubin demi ubin masa depan mereka sudah tak mampu lagi di tawar siapa pun. Ternyata salah, niat mereka untuk merealisasikan mimpi mereka dalam satu lembaga sekolah menengah kejuruan hanya meluangkan celah untuk mengingkari janji. Desta tak pernah ingin sesuatu pun melumpuhkan harapannya. Tapi tidak untuk sekarang ini, ia harus memutuskan pilihannya. Berpisah di persimpangan jalan dan mengambil jalur berbeda. Desta tahu hal itu akan menggandakan artikulatif kemarahan Moza. Tapi Desta tak muluk mendapatkan pilihan lain untuk menepati janji. Satu-satunya pilihan untuknya adalah mondok di pesantren. Hari itu, Moza bergegas sejak pagi masih menampakkan mentarinya dengan malu-malu. Moza menggenggam satu formulir yang sudah di titahnya dengan selengkap-lengkapnya. Ia berdiri di persimpangan jalan, menunggu hadirnya sesosok pria berkacamata disana. Moza mengamati setiap deret tulisan diatas sketsa formulir yang digenggamnya. Matanya sedikit rabun terkena paparan sinar matahari yang tanpa canggung lagi mengintainya. Kemudian menit bertumpuk menjadi jam, dalam kurung waktu satu seperempat jam sudah sangat cukup untuk menitikkan keringatnya disana. Samar-samar dalam lensanya. Sesosok yang dikenalinya berjalan gontai dengan membawa sekoper barang yang mengintai dipunggung kakinya. Moza menautkan alis, pria berkacamata itu tampak bimbang. “Maaf. Udah lama nungggunya?” ujar pria itu setibanya. Keringat yang meleburkan dirinya satu persatu menghujani tubuhnya. “Dari mana saja?” Moza berucap sinis. Desta hanya mengangkat kedua bahunya dan menyimpan kopernya ketepian. “Moza…”Desta tertahan . Ia betul-betul belum sanggup mengatakan hal itu pada Moza. Tetapi di depan sana, Moza tak ubahnya seperti kucing yang menunggu tuannya memberi makanan. “ Maafkan aku… Moza. Kali ini saja aku meminta restumu” . Desta menghela nafas dan kembali berujar. “Aku harus berangkat sekarang. Aku akan bersekolah di pesantren.”Desta tertunduk. Kali ini rasa bersalah menguasai seluruh batinnya. Hening. Hanya hembusan angin yang membawa secarik kertas menari bebas. Berlari liar meninggalkan dua pasang mata yang terhanyut dalam lindap air mata. Moza bungkam dengan dekapan pilu. Mulutnya keluh, tapi masih dapat tersenyum. “Bergegaslah Desta. Kau tak ingin membuang waktumu disini kan ?”. Moza berujar dalam sungkan. Desta yang masih fakum mencoba mengiyakan. Ban koper berdecit di atas aspal. Sinar orange pagi itu menghiasi wajah buram Moza. Ia masih tertunduk ketika Desta pergi. Hingga yang dapat di lihatnya hanya koper yang bertahap meroda menjauhinya. Tapak-tapak yang dilalui Desta terus saja menghantarnya melangkah dan terseret jauh dari tempat pijak Moza . seluruh diam menjelma dalam dalam bisu yang terbias waktu. Hanya rasa bersalah yang menemani kepergiannya. Rasa bersalah yang di pikulnya mulai hari ini. Desta membiarkan semua berjalan tanpa rekayasa. Lebih baik menyakiti sekarang ketimbang membiarkan semua hal berlarut tak menentu. Ia sangat paham bahwa Moza tengah kecewa. Tapi ia akan merasa lebih bersalah lagi jika ia tetap diam tanpa mengatakan sepatah dua kata sebelum pergi. Baginya, seperti sejak pertama rasa itu diam membisu. Lalu perlahan mengetuk pintu hatinya dalam damba tak bersyarat dibalik indah wajah Moza yang mengemuka. Kini yang dibawanya pergi, sekali lagi hanya intaian bayang rasa bersalah.    Untuk sejenak dalam doa yang ditasbihkan. Desta merebah dibalik lantunan syahdu bait-bait suci. Mengiba pada seorang yang entah sudah berapa lama tak ditemuinya. Ia masih ingat saat terakhir bertatap wajah dengan gadis itu. Tak sebaik yang diinginkannya. Ia termangu diam. Merengkuh jelaga sepasang mata dari batas rindu yang tergopoh berlari. Selalu saja tak semampai, untuk mengusung rindu yang rasanya tak berujung. Didekapnya sebuah mushaf. Gelimang rasa terus saja memuncak. Menyusung partikel-pertikel maha tingggi. Semenjak berada di pondok. Belum berapa lama ia sangat ingin pulang ke kampung halamannya. Menunaikan rasa bersalahnya pada Moza. Padanya yang kecewa. Sejauh ini, Desta telah menimbang-nimbang perkara perihal itu. Tapi tak satupun tanda yang dijelmakan Moza diambang perpisahan. Tak ada sinyal yang terngaungkan. Moza hanya berujar sepatah kata agar Desta bergegas pergi. Hanya sebaris kata, tapi sangat cukup untuk menyisakan sejuta luka untuknya. Dibatas gundah yang menggugah gelisah. Memamah resah yang berujung pada Tanya yang menunda kebahagiaan mereka. Keinginan Desta hanya satu, melihat Moza dapat tersenyum dengan indah. Senyuman lepas dari bibirnya yang merekah, terlepas dari beban apapun yang merajamnya. Saat tak terperih.    Kini, tak terhitung waktu yang dihabiskan Desta dalam dimensi baru pada kehidupannya dipesantren. Dengan segala kebiasaan barunya, ia mampu mengganti sel-sel ingatan yang usang dengan pengalaman-pengalaman baru. Seperti hard disk lama yang terganti dengan hard disk kosong yang ingin diisi lagi. Setiap harinya, ia bergelut bersama bait demi bait kitab suci yang harus fashih dihafalkannya. Perhatiannya terpusat pada satu tujuan, menyelesaikan studinya di pesantren dan meraih tiket masa depan cemerlang. Lalu, kendatipun demikian. Seberapapun lamanya Desta memusatkan waktu dan perhatiannya hanya untuk belajar. Tapi secercah ingatannya bercabang pada seorang yang memijaki kota yang jauh darinya. Entah atas alasan apa, bayangan masa lalu itu terus saja mengintainya. Berulang kali Desta pulang kerumahnya. Berulang kali pula kabar angin tentang Moza menyapa peraduannya. Hatinya semakin ngilu. Ia berharap andai saja dapat bertemu. Meskipun pada waktu yang tidak direncanakan. Pada kedalaman hatinya. Ada beribu kata yang sangat ingin dikatakan olehnya, namun terjanggal pada titik hampa dibenaknya. Semakin lama Desta tak menemui Moza. Semakin tergandakan kalimah perkata itu. Menjadi sekumpulan bait yang sulit diparafrasekan namun semakin menggudang. Tapi hanya ada alasan atas itu. Cinta.    Setahun berikutnya setelah Desta berada dipondok. Sejumlah resolusi mengubah sebuah tekad dalam metamorfosis frekuensi hatinya. Tak mungkin Desta dapat fakum dalam semaput rindu yang tak terbalaskan. Kehilangan satu cinta, maka satu-satunya cara mengobatinya adalah mencari cinta yang baru. Hingga suatu ketika Desta mengenal seorang gadis yang menarik perhatiannya. Meski tak serupa dan tak sama bila dibanding dengan Moza. Entah untuk keberapa kalinya rasa itu hadir ke permukaan. Segala ruang yang mencakupnya dengan gadis itu malah memicu efek negative diantara mereka. Memasuki minggu pertama Desta dan gadis Maros yang bernama Lena, Desta masih belum dapat melupakan Moza. Desta baru sadar setelah hubungannya bersama Lena terpaut lebih dari dua minggu, segala hal yang dijalaninya tak pernah terlepas dari intaian bayangan Moza. Bagi Desta, rasa yang terpaut itu bukan hal yang serius. Cintanya pada Lena adalah cinta yang serupa dengan Channel TV. Tak suka acaranya, raih remote-mu, dan ganti salurannya. Sedang pada Moza, terkunci dan lekat dalam dinding-dinding hati yang sempit. Cintanya yang seolah mengajak Desta menulis puisi, cintanya adalah sastra yang membangun gemelantik dari sudut-sudut gelap otak. Dari kedua gadis itu, Desta menemukan paradoks pertamanya. Kemudian Desta mengakhiri romansanya dengan Lena. Dengan satu alasan, cinta tak dapat dijalani jika jarak yang memisahkannya terlampau jauh. Hanya butuh waktu 2 minggu cinta itu bertahan hingga akhirnya khatam. Cukup dalam kurung waktu 2 minggu untuk Lena. Dan cukup dalam 2 minggu pula usaha Desta melupakan Moza berjalan sia-sia.    Dan ternyata jejak awal yang dimulai dan telah melewati gulungan hari, tetap saja kembali pada jalur semula. Seribu jejak tetap bermakna satu jejak. Setelah Desta menyelesaikan studinya di pesantren. Desta mendengar kabar tentang Moza, ia cukup senang meski membuatnya sangat kecewa. Semua berputar bak siklus rasa ditengah labirin tanpa tepi. Mengintainya dan meninggalkan siluet memori. Telah banyak tanya tak terjawabkan. Telah banyak sapa yang tak terbalaskan. Telah banyak hari yang sia-sia berlalu. Dan hari ini perasaan yang telah lama disetiakannya. Menyayat hatinya sendiri. Ponsel Desta berdering. Sederet nomor tak beralamat terlihat dilayarnya. Desta sesegera mungkin menerimanya. Setelah berbincang tak seberapa lama. Desta mengenal pemilik suara itu adalah Moza. Ia berucap syukur sebab kekecewaan Moza hari itu telah diabaikannya. “Desta, ada sesuatu hal yang sebenarnya merupakan inti dari maksudku menghubungimu”. Moza membuka garis keseriusan perbincangan mereka. Sedang Desta lagi-lagi hanya diam. “Tolong jujur Desta. Apa kamu mencintaiku?” sambung Moza. Desta jadi serba salah. Bibirnya keluh. “Aku tahu semuanya Desta. Tak perlu menyembunyikannya lagi” Ujar Moza. Desta mengepal tangannya. Sebatas trik untuk meyakinkan hatinya bahwa ia cukup tangguh. “Moza. Semua yang kau katakan itu benar. Semua hal menyangkut kau dan aku bukanlah dusta. Tapi selama ini aku hanya dapat diam. Karena aku menyalahkan perasaanku sendiri untuk orang yang menyalahkanku”. Lugas Desta. “Mengapa kau harus menunggu terlalu lama untuk menyatakan ini?” Moza menyeka dalam ragunya. “Karena aku tak pernah yakin akan mendapatkan balasan darimu.” ucap Desta. “Desta. Seminggu lagi aku akan dilamar oleh seseorang yang menjadi pilihan orang tuaku. Jika benar kamu mencintaiku. Datang kerumahku dan lepaskan aku dari rajam pria itu.” “T….ta….p….i..Moza” Desta mulai gelagapan. Ia tak pernah mengira sebelumnya bahwa Moza akan membahas hal seserius ini. Hubungan interlokal Moza terputus. Namun dialognya tadi bersama m masih terus saja terngiang dalam benaknya. Moza menanti keseriusan Desta. Moza menangih tanggung jawab Desta sebagai orang yang mengaku mencintainya.    Kepada hatimu yang bukan untukku: Nirsany Moza Aku tulis catatan ini ketika aku terombang-ambing ditelan kesepian dan ragu yang deras mengimpit. Dini hari menjelang pagi datang, ditengarai sepi dan luka yang menghujam tajam untuk kesekian kalinya aku mencoba menyapa cintamu. Tapi tak ada jawab. Yang kutemui hanya lembab udara yang berembus panas. Menyatu bersama degub jantungku yang mulai kehilangan jejakmu. Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek buat orang sepertiku. Yang selama ini selalu mencoba setia menjaga segala rindu dan cinta untukmu. Mungkin terdengar klise atau malah bodoh. Tapi setidaknya itu yang kurasakan detik ini. Gelisah dan pencarianku menyatu bersama rindu yang menumpuk dan mengecup penantian yang tak kunjung berakhir. Dalam secarik kertas yang kutitah ini. Kuharap tak ada bedanya antara hujan dan teduh. Antara gelap dan terang. Antara janji dan pengingkaran. Maafkan aku Moza, aku bukan orang yang kau harapkan. Aku tidak pantas menjadi orang yang memasangkan cincin dijari manismu. Mungkin ini sudah saatnya aku harus mulai belajar melupakanmu. Meski kenangan tentangmu tak akan mudah kuhapuskan. Setidaknya aku berzikir lemah untuk pilihanmu. Aku akan coba untuk rela, merelakan hatimu untuk orang lain. Bukan untukku.
Desta menutup segala gamang itu dengan dekapan penanya. Entah.. desta sendiri tidak mengerti dengan kesakitan-kesakitannya. Mungkin ada benarnya, pria sepertinya tidak akan pernah seserius itu. “Maafkan aku Moza. Aku pergi sebagai seorang pengecut”, penyesalan-penyesalan itu menapiknya berkali-kali. Moza memutuskan untuk menikahi pria itu, pada akhirnya. Kesedihan yang sambil lalu menukingnya, menuntutnya untuk memilih pria itu. Lebih tepatnya, karena Desta sama sekali tidak berwajib datang menghadiri pestanya. Mungkin ada benarnya, Desta masih terlalu sakit untuk menerima kenyataan. Moza bukan wanita yang akan menjadi pengantin perempuannya. END..

Kamis, 23 Agustus 2012

Think again..!!

Bersiaplah untuk sederet keluhan orang bodoh yang mengatakan dirinya telah dewasa. Yang akal dan fikirannya tertutup oleh segala hal yang bersifat "baik". ada sesuatu yg terlupakan dari perasinan yang telah lama ditiadakannya. yaitu.. "JATI DIRI". -aku hampir lupa menyatakan statement itu- tapi entahlah, kurasa ini bagian terpentingnya. Aku hampir lupa bagaimana rasa pahit cacian dari seorang istimewa-ku, kurasa Tuhan cukup adil.. "Sepertinya". Baiklah, sekarang kita mulai pendakian ke titik klimaks nya. Kurasa kalian tidak perlu lagi berupaya sebaik mungkin untuk terlihat baik dimata seseorang. Sebab kalian tahu? orang terbodoh adalah orang yang menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang percuma. orang yang paling tolol, adalah orang yang melapangan dadanya dengan seribu katak bijak, yang dirinya sendiri belum tentu dapat faham akan arti kata "berbijak-lah itu". Dan kita bukanlah orang yang diistimewakan oleh apapun, juga siapapun. tidak ada yang mencintaimu setulus kematian. percayalah!